Dari semua trauma yang ada di Instalasi Rawat Darurat (IRD), 10% diantaranya merupakan cedera sistem urogenital. Cedera urogenital perempuan yang bisa terjadi antara lain berupa memar dan laserasi pada vulva dan perineum, hematom vulva dan vagina serta cedera urethra. Sebagian dari trauma tersebut terabaikan dan sulit untuk didiagnosis sehingga memerlukan keahlian diagnosis yang baik. Diagnosis awal sangat diperlukan untuk mencegah komplikasi lanjut dan jangka panjang.
Sebagian trauma urogenital terjadi pada anak-anak, sering menyebabkan kecemasan besar karena terkait dengan perkembangan dan fungsi organ seksual. Jaringan genital prepubertas bersifat rapuh dan kemampuan meregang rendah, sehingga bila terjadi trauma meskipun cedera minor bisa menyebabkan perdarahan hebat.
Persalinan vaginal merupakan bagian penting dari praktek bidan dan dokter obstetri ginekologi baik di masa kini maupun mendatang, karena masih dianggap prosedur paling aman dan ekonomis. Meski telah dilakukan tindakan pertolongan persalinan vaginal dengan baik, lebih dari 85% perempuan mengalami trauma perineum dan sekitar 60-70% memerlukan reparasi perineum. Sebagian pasien bahkan mengalami robekan perineum derajat III sampai IV. Penelitian yang dilakukan di Eropa menunjukkan hasil 0,5-3% robekan perineum derajat III-IV, sedangkan di Amerika Serikat mencapai sekitar 6-9%. Peneliti lain mempublikasikan hasil penelitian yang menyatakan kejadian trauma sfingter ani pada persalinan vaginal mencapai 0,6-20%. Angka yang bervariasi ini mungkin terjadi akibat penilaian derajat robekan yang tidak tepat, ketidaktahuan penolong persalinan maupun pasien itu sendiri, serta masih adanya anggapan bahwa trauma perineum dan problem yang menyertainya adalah hal yang wajar sebagai konsekuensi persalinan vaginal.
Robekan perineum dalam berbagai derajat memerlukan tata laksana yang tepat agar fungsi yang terkait dengan jaringan yang robek dapat dikembalikan seoptimal mungkin. Sebanyak 25% primipara pasca persalinan vaginal mengalami gangguan defekasi, sepertiga kasus diantaranya akibat trauma sfingter ani. Dispareunia, inkontinensi urin atau retensi urin dapat menurunkan kualitas hidup perempuan. Inkontinensi anal dan fistula bahkan seringkali berkaitan dengan isu medikolegal dan pembiayaan yang cukup besar. Banyak perempuan menganggap penyulit yang timbul setelah persalinan merupakan konsekuensi wajar dari perjalanan panjang menjadi seorang ibu. Rasa malu dan ketidaktahuan kemana harus mencari pertolongan juga membuat perempuan cenderung bersikap menerima keadaan. Di sisi lain, masih banyak penolong persalinan belum mampu mengenali dan mengelola berbagai dampak robekan perineum akibat persalinan.
TUJUAN
Setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan peserta mampu:
- Mengenal faktor risiko robekan perineum pada kasus obstetri dan ginekologi
- Mampu melakukan tindakan pencegahan robekan perineum pada kasus obstetri dan ginekologi
- Mampu mendiagnosis jenis robekan perineum pada kasus obstetri dan ginekologi
- Melakukan tata laksana robekan perineum pada kasus obstetri dan ginekologi
- Melakukan perawatan pasca penjahitan robekan perineum pada kasus obstetri dan ginekologi
- Melakukan konseling/edukasi tentang tata laksana dan prognosis pasca penjahitan robekan perineum pada kasus obstetri dan ginekologi
WAKTU DAN TEMPAT
Rangkaian kegiatan “Workshop Penatalaksanaan Trauma Perineum pada Kasus Obstetri Ginekologi untuk Dokter Umum” dilaksanakan pada tanggal 29 Maret 2019 di ruang Konferensi Besar Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
PESERTA
Dokter Umum sebanyak kurang lebih 40 orang.
PEMBICARA
Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi, Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi Konsultan Uroginekologi Rekonstruksi, dan Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi konsultan yang lain.
BIAYA
Rp 1.000.000,-
Peserta mendapatkan sertifikat dan materi pelatihan melalui link Google Drive.
Disediakan doorprize menarik.
SEKRETARIAT
Cp:
Sdri. Nurina (081225779828)
Sdri. Nisa (081327089990)